Posts

Surat terbuka untuk para wanita di seluruh dunia

Kepada setiap wanita yang pernah terluka dan merasa tidak berharga karena seorang pria. Izinkah aku menyampaikan hal-hal ini. Bahwa kamu tidak sendirian di dunia ini. Izinkah aku tahu, kekecewaan atau rasa sakit apa yang pernah kamu alami? Atau yang masih kamu tanggung sampai hari ini? Siapakah pria yang perah menyakiti hatimu? Apakah dia ayah kandungmu sendiri? Ayah tiri? Kakak laki-lakimu? Mantanmu? Pacarmu? Rekan kerjamu? Siapa pun dia, aku tidak meminta kamu untuk memaafkan dia sekarang juga. Aku ingin kamu jujur pada dirimu sendiri tentang luka itu. Mengutarakannya kepada seseorang atau menuliskannya di atas kertas. Atau kamu boleh menuliskannya melalui email kepadaku. Setiap kali luka atau rasa sakit itu datang, janganlah kamu hindari. Jangan berpikir untuk segera tidak merasakannya lagi. Rasakan, terima, dan katakan mengapa kamu begitu terluka dan menangis saat ini. Itu akan membantumu untuk sembuh. Rasa sakit yang sering diutarakan dan dibagikan akan sirna perlahan...

Half

Tadinya aku berpikir, cinta saja cukup untuk menjalani sebuah hubungan. Ya, cinta. Atas nama cinta, berlandaskan cinta, sebuah hubungan dibangun. Namun, benarkah cinta sanggup membuat hubungan pacaran terus langgeng hingga pernikahan? Dan pernikahan hingga maut memisahkan? Benarkah semua cukup hanya dengan sebuah cinta? Apakah dengan kedua anak manusia saling jatuh cinta lantas membawa hidup mereka menjadi happy ending ? Sesederhana itukah arti cinta? Tadinya kupikir, yang namanya pacaran . . . tidak mungkin saling membenci tidak mungkin sakit hati. Karena kita mencintai dia. Tadinya kupikir, asal dua orang saling mencintai, itu cukup untuk hidup. Tadinya kupikir, satu-satunya jurang pemisah   sebuah hubungan adalah adanya pihak ketiga. Perselingkuhan. Orang lain. Pria atau wanita lain. Tapi, ternyata tidak juga. Seseorang bisa mengakhiri hubungannya kapan saja. Dengan banyak alasan. Ya, mulai dari alasan yang mengada-ada, diada-adakan, maupun yang memang benar-benar ada da...

Mungkin. Ketika kau pergi.

Mungkin. Ketika kau pergi. Aku kembali seperti bayi.  Merangkak dan belajar berjalan lagi. Benarkah aku menjadi bayi?  Kini berdiri aku tak mampu. Berjalan aku goyah.  Berlari hanya melukai diri. Bayi ... Ingin berbicara, tapi tak bisa menemukan bahasa. Ingin mengungkapkan rasa, namun hanya bisa tangis dan tawa. Dan ketika kau pergi, aku hanyalah bayi yang bersisiran air mata. Tak mampu bicara. Teriak sesekali dan merengek sepuasnya. Apa aku mau tetap menjadi bayi tanpa beranjak dewasa? Beranjak berdiri, melangkahkah sesenti. Aku tak pantas jadi bayi, yang merengek sampai mati. Bayi ini besok akan berlari. Dewasa tanpa perlu melewati ulang tahun berkali-kali

Hei, Di sebelah dunia bagian mana kau sedang berada?

Hei, Di sebelah dunia bagian mana kau sedang berada? Sudah   bertahun-tahun kau dan aku mencari arah. Berkali-kali jatuh cinta pada selatan. Menaruh keraguan pada barat. Terus menunggu isyarat timur. Hingga utarapun sudah tak lagi kita percaya. Sudah ku temui banyak kisah, ku temui pula banyak luka. Ternyata, pada kisah lalu milik kitalah harapan itu tetap ada. Masih kuatkah kau dan aku berjalan? Atau, kali ini, mungkin pulang akan menjadi jawaban.

Ego belakang

Aku ingin … Ingin yang hanya mampu menjadi angan belaka . . . Rasanya tidak adil, membayangkan diri ini hanya seperti seklebat bayangan melewatimu. Tidak inginkah sedikit saja kau mendengar ceritaku yang sudah sejauh ini? Tidak inginkah kau bertanya siapa yang menjadi inspirasiku selama ini? Atau kau memang tak pantas menanyakan itu padaku? Ya, aku tahu .. mungkin anggapmu adalah untuk apa? Itu semua seperti tak ada gunanya buatmu. Pernahkah kau berpikir lamanya hati ini menanti, menuangkan semuanya hanya dalam tangis dan sebuah ketelatenan menuliskan cerita? Selain Tuhan dan juga keluargaku, kau juga menjadi bagian paling penting dalam merajut mimpiku. Oh, ayolah sadar … Aku di sini menunggu tanganmu terbuka untukku .. Sebagai seorang teman, tidak lebih. Aku tidak ingin sikap dinginmu itu menjadi bosan buatku. Semua yang ku tulis tentangmu, tidak inginkah kau mendengar atau sedikit saja untuk mengetahuinya? Beberapa cerpen juga puisi, tidak inginka...

Aku sadar

Aku sadar… Aku ga akan selamanya bersamamu seperti sekarang ini. Saat waktu itu tiba, aku harus bisa merelakanmu pergi dariku. Meski dengan harapan, jika suatu hari nanti kita akan dipersatukan kembali. Jika waktu itu telah tiba … Akankah kau sepenuhnya melupakanku di saat aku benar-benar merindukanmu? Akankah kau … Ah, sudahlah tak ada guna aku berharap banyak padamu. Tapi jika nyatanya kamu memang merasakan hal yang sama denganku?, ah itu tidak mungkin! Pertanyaan macam itu sering kali mengganggu fikiranku. Jika suatu saat aku merindukanmu, sangat sangat merindukanmu. Apa yang harus aku lakukan? Ada rasa ingin menghubunginmu kembali hanya untuk menanyakan kabarmu atau bertanya ‘sedang apa dirimu?’ meski kesannya begitu klise. Karena akupun tidak tahu mau memulai darimana. Tapi belum selesai aku memikirkan cara bagaimana untuk melepas rinduku padamu, pertanyaan itu kembali muncul ‘apakah kau masih menganggapku ada?’ Seharusnya aku senang karna mungkin kau telah mendapa...

Angin

“Seandainya aku bukan …..” Tapi kau angin! Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar, menyusup celah-celah jendela, berkelabat di pundak bukit itu. “Seandainya aku …..” Tapi kau angin! Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga. “Seandainya …..” Tapi kau angin! Jangan menjerit: semerbakmu memekakkanku. Sapardi Djoko Damono