Cerpen "Perjuangan Sang Juara"
Menjadi seorang pemain basket
profesional adalah mimpiku sejak remaja. Aku berasal dari keluarga yang
ekonominya masih kurang dan tinggal di rumah yang sederhana. Aku tidak memiliki
sepatu atau apapun yang bisa kupakai untuk bermain basket. Tetapi inilah
tantangan untukku dan memulai perjalanan menjadi sang juara.
“Dheo, cepat antarkan baju ini ke rumah
tantemu.” suruh ibu.
“Iya bu,” sahutku.
Aku bergegas
mengantarkan baju itu ke rumah tanteku. Saat pulang dari mengantarkan baju, aku
bertemu dengan sahabat karibku, Sutan. Sutan adalah teman dekatku sejak
di bangku SD. Dia adalah pemain basket yang terkenal hebat dengan teknik basket
yang bisa dikatakan luar biasa di sekolahku. Dia juga menjadi kapten tim basket
sekolah SMAku.
“Hay Dheo, Mau kemana lo?” sapa Sutan.
“Gue mau balik ke rumah nih, baru selesai
nganter baju ke rumah tanteku.” sahutku kepada Sutan
“Dheo, gue mau ke lapangan basket sekarang,
lo mau ikut ngga?” tanya Sutan lagi.
“Oke. Yuk cap-cus sekarang,” Jawabku kepada
Sutan sambil tersenyum.
Aku dan Sutan
segera menuju ke lapangan basket yang ada di komplek x. Biasanya aku
kesana ketika aku mempunyai waktu senggang.
“Dheo, sepatu lo mana?” Tanya Sutan sambil
memainkan bola basket kesayangannya.
“Gue ngga punya sepatu, Tan. Jadi kalau gue
main basket di sini selalu nyeker,” sahutku sambil menggaruk
kepalaku.
“Lo bisa minta sepatu gue, men. Kita kan sudah
temenan lama. Gue ngga mau lihat teman gue kesusahan seperti ini. Sekarang kita
ke rumah gue aja. Lo bisa pilih sepatu gue yang lo mau dan gratis!!” kata Sutan
kepadaku sambil tersenyum. Sutan adalah anak seorang pengacara yang sangat
terkenal di kotaku. Jadi dia bisa membeli sepatu-sepatu basket dengan merek
terkenal dengan gampangnya.
“Tapi emang gapapa kalau gue ngambil sepatu
lo?”
“Jangan pikirin itu. Lo kan sahabat gue.“
“Terima kasih, Sutan,” jawabku dengan
semangat dan segera memeluk Sutan dengan eratnya. Aku tidak bisa menyembunyikan
perasaan bahagia ini. Sungguh Sutan adalah sahabatku. Aku sudah menganggap
Sutan sebagai saudaraku sendiri. Persahabatan itu bagaikan kepompong.
Segera aku dan
Sutan bergegas ke rumah Sutan yang ada di komplek sebelah. Dalam perjalanan ke
rumahnya Sutan, aku menceritakan keinginanku untuk menjadi seorang pemain
basket yang memiliki keterampilan sama seperti Sutan. Aku ingin berlatih basket
dengannya dan bisa masuk tim basket di sekolahku. Maklum, untuk bisa masuk
menjadi anggota tim basket di sekolahku harus melalui seleksi yang ketat dan
menghadapi teman-teman yang sudah memiliki kemampuan basket di atas rata-rata.
Memang tim basket SMAku adalah tim basket terhebat di kotaku bahkan sudah
menjadi juara 2 basket tingkat nasional.
“Oke. Gue siap melatih lo, asalkan lo serius
untuk menekuni basket. Gue mau lo bisa masuk tim basket di sekolah. Siap ngga?”
“Siap pak bos.” jawabku dengan semangat.
Saat itu, aku berkata dalam hatiku, inilah awal perjalanan sang juara. Awal
untuk meraih semua mimpiku.
Setelah
berbincang panjang lebar dengan Sutan, tak terasa kita pun sampai di depan
rumah Sutan. Dari depan rumah Sutan, aku bisa melihat kemegahan rumah Sutan.
Aku dan Sutan segera menuju ke sebuah ruangan yang ternyata berisi koleksi
sepatu dan peralatan basket dengan merk terkenal mulai dari luar negeri sampai
dalam negeri. Wow, tak bisa kubayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan
untuk membeli peralatan basket sebanyak ini.
“Dheo, Lo bisa pilih sepatu basket yang ada
di lemari itu.”
“Wow. Amazing.” gumamku dalam hati. Aku
melihat lemari itu penuh dengan sepatu basket yang terlihat begitu elegan. Aku
sulit untuk menentukan pilihan, mana yang harus kupilih. Aku tidak mau mengambil
sepatu yang harganya terlalu mahal. Aku tidak mau merepotkan Sutan. Setelah lama
aku mencari sepatu yang cocok, aku menemukan sepatu League yang aku
perkirakan sudah lama tidak digunakan oleh Sutan karena warnanya yang sudah
pudar dan di kulit sepatunya sudah terlihat robekan kecil. Tapi aku melihat
sepasang sepatu yang sudah tidak asing lagi buatku. Aku ingat, itu adalah sepatu
dari pemain idolaku dari CLS Knight, Dimas Muhairi. Dalam hatiku, aku ingin
sekali memiliki sepatu itu. Tapi, itu adalah sepatu kesayangan dari Sutan. Aku
tetap pada pilihan pertamaku.
“Sutan, gue ambil yang ini ya.”
“Lo ngga mau pilih yang lain. Kan masih banyak
yang lebih bagus daripada sepatu ini. Sepatu gue kurang menarik ya buat lo?”
“Ooh, ngga. Gue cuma ngga mau ngerepotin lo.”
jawabku dengan rasa gugup.
“Ooh, kalau itu sudah pilihan lo, gue ngga
bisa melarang.”
“Terima kasih, Sutan.” seruku dengan
perasaan yang tak bisa dikatakan dengan kata-kata.
Terdengar suara
adzan maghrib berkumandang. Ini bertanda untuk pulang. Aku pun berpamitan
kepada Sutan dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas sepatu
yang telah diberikan. Aku merasa sudah seperti pemain basket asli dengan
sepatu baruku ini. Walaupun ini hanya pemberian dari sahabatku tapi rasa
syukur selalu ku ucapkan kepada Tuhan atas apa yang telah diberikannya hari
ini.
Keesokan harinya,
sepulang sekolah aku bergegas pulang ke rumah untuk membantu ibu untuk
mengantarkan kue yang telah dibuatnya untuk diantarkan ke warung terdekat.
Aku sangat bersemangat hari ini karena aku akan berlatih basket bersama Sutan.
Selesai membantu ibu, aku langsung tancap gas menuju lapangan
basket.
Di lapangan
basket sudah ada Sutan yang sedang melakukan slam dunk. Aku tercengang
ketika melihat Sutan melakukan itu. Sangat mengagumkan pasti ketika aku bisa
melakukan hal itu juga. Aku pun bertekad agar aku bisa melakukan gerakan
tersebut.
“Hay Sutan. Ayo kita mulai latihannya
sekarang.”
“Kita pemanasan dulu ya biar ngga cedera.”
Aku dan Sutan
segera melakukan pemanasan dengan berlari kecil mengelilingi lapangan basket ini.
Pemanasan ini ku jalani dengan serius agar tidak terjadi cedera. Selesai
pemanasan, aku diajarkan teknik dasar bermain basket, mulai dari dribble bola
sampai cara menembak bola yang baik dan benar. Aku berlatih dengan Sutan selama
2 minggu lamanya. Dalam 2 minggu tersebut, aku sudah mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Aku sudah bisa menguasai teknik dasar basket sampai teknik yang
begitu rumit yang harus dipelajari berbulan-bulan lamanya. Sutan pun terkejut
dengan perkembanganku yang begitu pesat.
“Dheo, lo hebat banget. Lo cepat banget bisa
main basketnya. Gue bisa kalah, nih,” kata Sutan sambil tersenyum.
“Ini semua berkat lo, Tan. Kalo ngga ada lo,
gue ngga mungkin bisa bermain basket sebagus ini. Tapi, masih hebatan lo daripada
gue.” Jawabku yang memuji kehebatannya dalam bermain basket.
“Ga juga. Lo juga hebat kok. Gue ada berita
buat lo. Seminggu lagi ada seleksi pemain untuk DBL nanti. Lo harus ikut ya.”
“Tapi, gue bukan anggota tim basket di
sekolah. Gimana gue bisa ikut?”
“Sudah, jangan dipikirin. Nyantai aja. Nanti
gue yang daftarin.”
“Yang benar? Terima kasih ya!”
Semalaman aku ngga
bisa tidur. aku terus mikirin tentang seleksi pemain basket untuk DBL nanti. Aku berharap bisa diizinkan dan bisa menjadi bagian dari tim DBL, ini adalah
ajang tahunan yang sangat bergengsi bagi setiap sekolah yang mengikuti turnamen
ini. Besar harapanku untuk bisa mengikuti turnamen ini. Tetapi, aku harus
menunggu kabar dari Sutan terlebih dahulu. Intinya adalah tetap bersabar.
Esoknya, aku
deg-degan menanti kabar dari Sutan. Aku cepat-cepat mencari Sutan. Tetapi, sudah
mencarinya sampai keliling sekolah sayangnya, itu belum membuahkan hasil. Aku
pun mulai bingung. Lo dimana Tan? Aku pun bertanya kepada teman-teman dekatnya,
tetapi ngga ada yang tahu dia dimana. Aku pun memeriksa ke kelasnya dan aku bertemu
dengan Putra yang tak lain adalah teman satu tim Dheo.
“Putra…, lo liat Sutan?”
“Loh. Lo ngga tahu kabar tentang Sutan?
Kemarin dia masuk rumah sakit.”
“ Kenapa?”
“Dia kena serangan tomcat. Gimana sih lo? Lo
kan teman dekatnya Sutan seharusnya lo tahu dong tentang keadaan teman lo
sendiri.”
“Soalnya gue belum ketemu sama Sutan.”
“Ooh…. Jadi sekarang lo gitu sama teman
sendiri. Gue denger dari pelatih, lo mau ikut seleksi ya?”
“Gue belum tahu. Soalnya belum ada kabar dari
Sutan. Gue cari Sutan sebenarnya mau menanyakan soal ini.”
“Ooh… gitu ya. Jadi lo lebih mementingkan
seleksi ini daripada Sutan. Lo udah ngga peduli lagi sama Sutan sekarang. Lo
jahat banget. Habis manis sepah dibuang.” umpat Putra kepadaku dengan tatapan
muka seperti baru tersulut api yang begitu panas.
“Bukan begitu, Put. Gue sebenarnya belum tau
apakah gue diizinkan untuk megikuti seleksi ini atau ngga. Hanya Sutan yang tahu
tentang hal ini. Maka dari itu gue cari Sutan. Gue dan Sutan sudah sahabatan sejak
kecil. Gue ngga akan sanggup melihat teman gue dalam keadaan sakit seperti itu.”
“Sorry. Gue sudah marah-marah ngga jelas sama
lo. Sekali lagi, gue minta maaf ya.”
“Gue juga, Put. Maaf kalo gue buat lo
naik darah sekarang.”
“Ya, gapapa lah. Jangan dipikirkan tentang
hal tadi. Tadikan lo mau nanya sama Sutan kan, apa lo diizinkan untuk ikut
seleksikan?”
“Iya, apa lo tau tentang hal itu?”
“Kemarin Sutan bilang sama gue, kalau lo
bisa ikut seleksi tim untuk DBL nanti.”
“Serius? lo ngga bohong kan?”
“Ya, itu benar.”
Aku senang
banget mendengar hal tersebut. Aku bersyukur kepada Tuhan karena telah
mengabulkan doaku. Aku harus bertemu dengan Sutan untuk mengucapkan terima
kasih atas bantuannya. Sepulang sekolah aku menuju rumah sakit tempat Sutan
dirawat. Sesampainya di rumah sakit aku langsung mencari kamar tempat Sutan
dirawat. Akhirnya aku menemukan kamar tempat Sutan dirawat. Di dalam kamar, aku
melihat Sutan terbaring lemas sambil ditemani ibu dan ayahnya. Aku langsung
masuk ke dalam dan menyapa orang tua Sutan.
“Selamat siang, om.” Sapaku kepada Ayah Sutan.
“Siang. Ooh Dheo… Ayo masuk. Mau jenguk Sutan
ya?”
“Iya om.”
Ayah Sutan pun
mempersilahkanku untuk menemui Sutan. Beliau bersama istrinya meninggalkanku
dan Sutan berdua di kamar.
“Om tinggal dulu ya. Om mau ketemu sama
dokter dulu. Dheo tolong temani Sutan dulu ya.”
“Siap, om!!!
Aku pun langsung
mengajak ngobrol Sutan. Aku menanyakan kenapa dia bisa terkena serangan Tomcat.
Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada Sutan karena dia bisa merayu
pelatih tim basket sekolahku yang terkenal galak dan judes itu sehingga aku
bisa mengikuti seleksi untuk DBL seminggu lagi. Dia pun tertawa dan berkata
kepadaku bahwa inilah arti persahabatan. Kita harus saling tolong-menolong
dan melengkapi satu sama lain. Setelah berbincang lama dengan Sutan, orang tua Sutan
pun sudah kembali, aku segera berpamitan kepada Sutan dan orang tuanya.
Dalam perjalanan
pulang, aku berpikir siapa yang akan melatihku sekarang. Tapi, tak ada kata
menyerah untuk menjadi seorang juara. Aku harus berlatih sendiri. Aku ngga mau
membuat Sutan susah. Walaupun tanpa dia, aku bisa berlatih semampuku. Selama
5 hari aku berlatih sendiri. Dengan semangat perjuangan 45, aku berlatih tanpa
kenal lelah. Walaupun pengetahuanku tentang basket tak sehebat Sutan, aku
hanya melatih kembali apa yang telah diajarkan oleh Sutan kepadaku.
Seleksi pemain pun akan dilaksanakan nanti
sore.
Aku harus
mempersiapkan tenaga dan mental untuk mengikuti seleksi pemain nanti. Ketika aku
mau berangkat, tiba-tiba aku melihat ibu jatuh pingsan. Aku segera membawa ibu
ke puskesmas terdekat. Aku menunggu dengan cemas hasil pemeriksaan dari dokter.
Aku juga memikirkan apakah aku bisa mengikuti seleksi kalau keadaan ibu masih
terbaring lemas di kasur. Aku tidak mungkin meninggalkan ibu sendirian, tapi kalau
aku ngelewatin kesempatan untuk bisa menjadi tim inti DBL sekolah, itu
merupakan suatu kerugian buatku. Aku sangat bingung sekarang. Mana yang harusa
ku pilih, apakah aku harus diam di sini atau megikuti seleksi yang aku tau belum
tentu aku bisa lolos? Tapi aku membuat keputusan, aku harus diam di sini dan
menunggu ibu sampai keadaannya kembali normal. Dengan terpaksa aku harus melepas
kesempatan emas yang tak mungkin datang untuk kedua kalinya. Perjuanganku
berlatih keras tanpa kenal lelah akan terbuang sia-sia. Tapi ini demi ibu. Aku tidak mau jadi anak yang durhaka.
“Dheo anakku,” panggil ibu yang membuatku
terkejut.
“Ooh ibu. Ibu sudah bangun ya. Ibu sudah
sehat?”
“Ibu sudah baikan. Kamu belum berangkat ke sekolah?
Kamu bilang sekarang ada seleksi pemain basket.”
“Tapi aku ngga bisa ninggalin ibu dengan
kondisi seperti ini. Aku akan menunggu ibu di sini sampai ibu sehat kembali.”
“Tidak nak. Kamu harus menggapai mimpi yang sudah
ada di depan matamu. Ibu tidak ingin melihat kamu sedih jika kamu gagal meraih
kesempatan emas menjadi pemain basket yang hebat. Cepat ke sekolah sekarang.
Kejar mimpimu yang sudah ada di depan matamu. Selangkah lagi kamu akan menjadi
sang juara.”
“Tapi ibu.”
“Cepatlah nak. Biar ibu pulang ke rumah
sendiri. Ayolah.”
“Baiklah bu. Terima kasih. Aku tidak akan
mengecewakan kepercayaan yang telah ibu berikan.”
Aku langsung
menuju sekolah dengan tergesa-gesa. Aku harus bergegas agar tidak terlambat.
Untunglah aku belum terlambat. Seleksi baru dimulai 10 menit kemudian. Dalam seleksi
ini aku begitu bersemangat. Aku mengeluarkan seluruh kehebatanku agar bisa
menjadi salah satu bagian dari tim inti sekolahku. Semangat yang membara
bagaikan bertempur di medan perang. Seleksi pun selesai. Aku tinggal menunggu
hasil seleksi tadi. Jantungku berdebar-debar menunggu hasil seleksi tadi. Aku
berharap sekali agar bisa lolos seleksi ini. Saat yang ditunggu-tunggu pun
tiba. Pelatih membacakan 12 pemain yang akan dibawa ke turnamen DBL 1 minggu
lagi. Dari nomor pertama sampai sekarang nomor 1 yang dibacakan, aku belum
mendengarkan namaku disebutkan oleh pelatih. Aku hanya mendengar nama Sutan dan
Putra di dalamnya dan itu pun sudah pasti karena mereka adalah tumpuan utama di
dalam tim ini. Sekarang sudah sampai di nomor terakhir alias nomor 2. Aku
berharap namaku ada di urutan ini.
“Dheo, kamu lolos menjadi 2 pemain yang akan
dibawa ke DBL nanti.” Kata pelatih.
Mendengar hal
tersebut, aku pun bersujud dan bersyukur kepada Tuhan karena aku bisa lolos
menjadi 2 pemain yang akan dibawa ke DBL nanti. Terima kasih Tuhan, karena
engkau telah mengabulkan doaku. Akupun berjanji untuk tampil semaksimal mungkin
dan berusaha untuk menjadi starting five di dalam tim nanti.
Sebulan telah
berlalu, setelah tim kami berhasil menjadi juara DBL untuk ketiga kalinya
secara berturut-turut. Sekarang aku sudah di Amerika bersama tim DBL Indonesia
untuk mengikuti kejuaraan basket tingkat dunia. Tapi sayangnya Sutan tak bisa
bersamaku sekarang. Dia menolak tawaran untuk menjadi salah satu pemain tim DBL
Indonesia di kejuaraan ini. Dia ingin agar aku saja yang bisa ikut mewakili
Indonesia di ajang ini, karena dia ingin aku bisa menggapai mimpiku untuk
menjadi pemain basket terkenal di dunia. Sutan lebih memilih fokus untuk
menggapai cita-citanya menjadi seorang business
man yang terkenal. Itulah alasannya dia melepas kesempatan emas ini.
Mungkin itu sudah pilihan yang terbaik baginya. Aku sangat senang bisa memiliki
sahabat seperti Sutan. Sutan, jasamu sangat berharga bagiku karena
telah membantuku untuk meraih impianku menjadi pemain basket yang hebat. Meraih
impian menjadi sang juara karena inilah perjalanan sang juara.
Comments
Post a Comment